Selasa, 17 Maret 2009

Ciuman dengan Mata Terpejam

KOLOM - Gede Prama
Ciuman dengan Mata Terpejam

Bernie Siegel, dokter bedah yang bermukim dan berpraktik di Amerika
Serikat, rupanya tidak hanya bisa mengoperasi pasien, melainkan juga
menghasilkan buku klasik, Love, Medicine and Miracle. Serupa dengan Krishan
Chopra dan Deepak Chopra yang mendalami cinta sebagai serangkaian kekuatan,
Siegel juga memfokuskan penglihatan pada segi-segi cinta sebagai kekuatan
penyembuh.

Sebagai bagian dari upaya meyakinkan publik tentang cinta sebagai kekuatan,
Siegel mengemukakan banyak bukti. Salah satunya, di kota kecil di Eropa
pernah dilakukan penelitian kecil. Sekelompok suami yang bepergian ke
kantor dengan mengendarai mobilnya dibagi dua kelompok, yakni kelompok
suami yang dicium pipinya oleh sang istri sebelum berangkat ke kantor, dan
kelompok suami yang tidak pernah dicium sebelum ke kantor.

Setelah beberapa waktu, ternyata kelompok suami yang dicium istrinya
sebelum ke kantor memiliki risiko kecelakaan mobil lebih kecil dibandingkan
yang tidak pernah diciumi istrinya. Ada pula pembuktian Siegel yang lain,
di mana kelompok anak orang utan yang disusui ibunya di hutan yang kotor
dan tidak steril, ternyata daya tahan tubuhnya lebih baik dibandingkan
kelompok orang utan yang dipelihara manusia di laboratorium steril.

Boleh saja, orang meragukan hasil penelitian ini. Namun, ciuman, pelukan
dan belaian (secara langsung maupun tidak) ternyata berpengaruh terhadap
kualitas hubungan manusia. Seorang anak misalnya, bisa saja tidak merasakan
apa-apa ketika dicium ibunya, tetapi frekuensi ciuman yang sering ke pipi
anak lebih mungkin meninggalkan kenangan panjang pada sang anak. Untuk
kemudian tidak saja merajut kenangan, tetapi juga membuat kualitas hidup
sang anak penuh diwarnai cinta.

Saya punya rajutan kenangan bersama almarhumah Ibu. Dulu, ketika Ibu masih
sehat dan segar, dan berkunjung ke Jakarta, ada satu perilaku yang tidak
pernah dilakukan sebelumnya. Sebagai orang desa yang bergaul terbatas, Ibu
tidak pernah mencium putranya yang sudah besar. Namun, dalam perpisahan mau
pulang, tiba-tiba Ibu memeluk dan mencium pipi saya. Ketika itu, yang ada
hanyalah rasa kaget sebentar, karena merasa Ibu berperilaku lain.

Sekian tahun setelah semua itu berlalu, dan kami dipisahkan oleh kematian,
tempat dan waktu, ekspresi muka Ibu lengkap dengan pejaman matanya ketika
mencium saya masih teringat jelas. Lebih dari sekadar dihubungkan oleh
untaian memori, ciuman Ibu juga seperti magnet yang membuat sang hidup
terasa lebih berjiwa dan berenergi. Ada tarikan-tarikan cinta yang membuat
matahari kehidupan seperti tersenyum.

Ada memang rekan yang senantiasa mengingat ciuman wanita pacarnya. Namun,
saya mengingat sekali ekspresi Ibu -- yang sama dengan sejumlah wanita
lainnya -- sambil memejamkan mata mencium pipi putra bungsunya. Ini ciuman
yang amat khusus, tidak sekadar terbayang-bayang, tetapi menghadirkan
keingintahuan: mengapa banyak wanita memejamkan mata ketika melakukan
ciuman?

Lama saya sempat mencari jawabannya. Entah kebetulan entah tidak, dalam
kerinduan yang mendalam kepada almarhumah Ibu, tiba-tiba seorang sahabat
mengirim SMS: "Wanita memejamkan mata ketika berciuman, karena sadar
sedalam-dalamnya kalau keindahan di dalam sini jauh lebih meneduhkan
dibandingkan keindahan di luar."

Saya tidak tahu, imajinasi apa yang ada dalam diri Ibu ketika mencium
putranya sambil memejamkan mata. Tarikan magnet kehidupan yang dihadirkan
kemudian, membawa saya pada keyakinan: kehidupan hening di dalam sini juga
bisa tersambung rapi dengan kehidupan hening orang-orang yang kita cintai.
Bahkan, dalam rentang waktu yang demikian panjang, atau malah ketika
samudra kematian sudah memisahkan kita dengan orang-orang tercinta.

Ini mungkin yang disebut Edward Deming di akhir hayatnya -- sebagaimana
dikutip Ken Shelton dalam > The New Paradigm of Leadership -- bahwa
kualitas kepemimpinan lebih terkait pada aspek tidak terlihat ketimbang
aspek yang terlihat. Deming yang menghabiskan kebanyakan hidupnya untuk
mempelajari kualitas melalui sarana-sarana terlihat yang bernama statistik,
ternyata mengakhiri hidupnya dengan kesadaran yang dalam terhadap the
unseen quality of leadership.

Serangkaian kualitas yang tidak terlihat, tetapi tersambung rapi melalui
gelombang nurani yang menyentuh hati. Ini tidak saja terjadi antara saya
dan almarhumah Ibu, tetapi juga pada Gandhi dan pengikutnya, Ibu Theresa
dan suster-susternya, Lady Diana dan pecintanya, John Lennon dengan
penggemarnya, Matsushita dengan karyawannya, Pak Hatta dengan banyak orang
Indonesia, atau Jack Welch dengan General Electric.

Dalam sinar kejernihan tersebut, terlebih di tengah petaka banyak skandal
korporasi seperti Enron, Worldcom, Merck, yang mereduksi kehidupan ke dalam
angka neraca rugi/laba yang kering tanpa jiwa, tiba-tiba saya diingatkan
oleh ciuman Ibu lengkap dengan pejaman matanya. Kenangan itu kemudian
berbisik, angka-angka di luar memang membantu, tetapi ada rangkaian rasa di
dalam sini yang menghubungkan kita dengan orang-orang tercinta. Yang
akhirnya, membawa sang hidup ke bentangan imajinasi yang tinggi. Meminjam
argumen jernih Shakti Gawain dalam Creating True Prosperity: "While
prosperity is in some ways related to money, it is not caused by money."
Uang memang sejenis energi kehidupan, tapi ia bukanlah sebab utama
sejahteranya manusia. Kesejahteraan lebih banyak tersedia di dalam sini, ia
terlihat rapi dalam tubuh yang menutup matanya di keheningan.

Penulis adalah Presdir Dynamics Consulting dan Chief Facilitating Officer
Life ReCreation Forum

Google Talk